Video Assistant Referee (VAR) telah merevolusi dunia sepak bola dalam beberapa tahun terakhir. Mulai dari kompetisi besar seperti Piala Dunia hingga liga-liga elite Eropa, teknologi ini digunakan untuk membantu wasit mengambil keputusan yang lebih akurat. Namun, bagaimana dengan penerapan VAR di liga-liga kecil atau kompetisi domestik tingkat menengah? Apakah mereka mendapat manfaat yang sama seperti liga top dunia? Di tengah euforia Transfer Musim 2025 yang mendominasi pemberitaan sepak bola, isu penerapan VAR di liga-liga kecil seringkali luput dari perhatian.
Artikel ini akan membahas bagaimana teknologi ini dipandang sebagai inovasi, tetapi juga menghadirkan tantangan besar secara teknis dan finansial di level yang lebih rendah dalam hirarki sepak bola.
VAR Sebagai Inovasi Sepak Bola Modern
Penerapan VAR dirancang untuk meminimalkan kesalahan manusia dalam pertandingan. Teknologi ini memberikan dukungan visual bagi wasit utama untuk mengevaluasi keputusan penting, seperti gol, penalti, kartu merah langsung, atau kesalahan identitas pemain.
Di liga top seperti Liga Premier Inggris, La Liga, dan Serie A, sistem VAR telah menjadi bagian integral dalam struktur pertandingan. Teknologi ini dioperasikan dengan bantuan banyak kamera beresolusi tinggi, perangkat komunikasi canggih antara wasit dan tim VAR, serta tenaga profesional berpengalaman dalam menganalisis rekaman video secara real-time.
Namun ketika kita melihat ke liga-liga kecil, baik di Eropa bagian timur, Asia Tenggara, Afrika, hingga Amerika Latin, kenyataannya tidak seindah bayangan. Banyak dari kompetisi ini masih bertumpu pada sistem wasit tradisional karena keterbatasan infrastruktur.
Hambatan Teknis dan Biaya Tinggi
Penerapan VAR memerlukan investasi teknologi yang tidak sedikit. Di negara-negara dengan liga kecil, banyak klub yang bahkan masih mengalami kesulitan dalam memenuhi standar stadion minimum, apalagi memenuhi syarat untuk VAR. Diperlukan kamera dengan sudut pandang berbeda, ruangan kontrol khusus, jaringan komunikasi stabil, dan tenaga ahli yang terlatih.
Sebuah studi FIFA menyebutkan bahwa pengadaan sistem VAR dapat menghabiskan biaya antara USD 250.000 hingga USD 500.000 per musim hanya untuk peralatan dan pengoperasian. Bagi klub-klub kecil yang masih berjuang membayar gaji pemain secara rutin, pengeluaran sebesar itu menjadi beban berat yang tidak sebanding dengan pemasukan mereka.
Di banyak liga berkembang, seperti Liga Malaysia, Liga Ghana, atau Liga 2 Indonesia, infrastruktur stadion belum mendukung pemasangan sistem VAR secara menyeluruh. Selain itu, tantangan geografis, seperti sulitnya sinyal internet di daerah terpencil, memperburuk kondisi teknis implementasi.
Risiko Ketimpangan Teknologi
Ketika VAR hanya bisa digunakan di beberapa stadion tertentu karena keterbatasan biaya atau logistik, maka keadilan pertandingan ikut terancam. Beberapa pertandingan bisa mendapatkan dukungan teknologi, sementara yang lain tidak. Hal ini menciptakan ketimpangan dalam penegakan aturan, sesuatu yang justru ingin dihindari oleh FIFA dan konfederasi regional.
Kasus ini sempat terjadi di beberapa negara yang mencoba menerapkan VAR secara bertahap. Liga-liga seperti Kolombia dan Maroko sempat dikritik karena hanya mengaktifkan VAR pada pertandingan penting atau semifinal, sedangkan babak awal tetap menggunakan sistem manual. Ini menimbulkan kesan bahwa teknologi hanya hadir saat ‘dibutuhkan’, bukan sebagai sistem yang konsisten.
Solusi Kreatif dan Teknologi Alternatif
Untuk mengatasi hambatan biaya dan teknis, beberapa negara telah menguji penggunaan VAR ringan (lite version). Versi ini menggunakan kamera lebih sedikit, perangkat lunak berbasis cloud, dan ruang kontrol portabel yang bisa dipindah antar stadion. Tujuannya adalah memberikan opsi lebih terjangkau bagi liga yang tidak mampu menggunakan versi penuh.
FIFA bahkan mendorong inovasi ini melalui program “VAR Implementation Assistance and Approval Programme (IAAP)” agar semua negara dapat mengakses teknologi sesuai kapasitas mereka. Beberapa negara seperti Thailand dan Afrika Selatan telah menjadi pelopor dalam eksperimen ini dengan hasil yang cukup menjanjikan.
Dukungan dan Tantangan Sumber Daya Manusia
Masalah lain yang sering diabaikan adalah kurangnya tenaga profesional terlatih. Operasi VAR tidak hanya soal alat, tapi juga soal sumber daya manusia. Dibutuhkan pelatihan intensif bagi wasit, operator kamera, dan analis VAR agar mereka dapat mengambil keputusan cepat dan akurat.
Di banyak negara berkembang, pelatihan ini masih terbatas, bahkan belum menjadi bagian dari kurikulum wasit nasional. Hal ini membuat proses adopsi teknologi lebih lambat karena tidak ada SDM yang siap untuk menjalankan sistem yang canggih ini.
Dampak Sosial dan Persepsi Suporter
Di luar sisi teknis dan finansial, persepsi publik terhadap VAR juga menjadi faktor penting. Banyak suporter di liga-liga kecil masih menaruh harapan besar pada wasit sebagai satu-satunya penentu hasil pertandingan. Penggunaan teknologi bisa dianggap sebagai ‘gangguan’ terhadap ritme permainan atau bahkan menurunkan atmosfer pertandingan secara emosional.
Ada juga kekhawatiran bahwa VAR dapat ‘membunuh’ spontanitas dan emosi di lapangan. Gol yang seharusnya dirayakan langsung oleh pemain dan fans, kini harus menunggu keputusan dari ruang VAR yang bisa memakan waktu hingga 2-3 menit.
Apakah VAR di Liga Kecil Layak?
Pada akhirnya, pertanyaan penting yang harus diajukan adalah: apakah investasi teknologi VAR layak diterapkan di liga-liga kecil? Jawabannya tergantung pada kesiapan finansial, infrastruktur, dan komitmen federasi sepak bola di masing-masing negara.
VAR memang memberikan keadilan dan keakuratan, namun jika diterapkan secara terburu-buru tanpa kesiapan teknis, hal itu justru bisa menimbulkan masalah baru. Strategi terbaik adalah pendekatan bertahap, penggunaan versi ringan, dan pelatihan SDM secara merata agar teknologi ini benar-benar menjadi solusi, bukan beban.
Penutup
VAR bukan hanya sekadar alat bantu wasit, melainkan simbol kemajuan teknologi dalam sepak bola. Namun, tanpa persiapan yang matang, penerapannya bisa menciptakan ketimpangan baru dalam ekosistem sepak bola dunia. Di tengah isu transfer besar-besaran yang mewarnai Transfer Musim 2025, penting bagi komunitas sepak bola global untuk tidak lupa mendukung inovasi yang inklusif dan berkelanjutan — tidak hanya untuk liga elit, tetapi juga untuk kompetisi kecil yang menjadi fondasi utama perkembangan sepak bola di masa depan.